Politik transaksional (transactional politic) kerap kali mewarnai dinamika demokrasi lokal di Indonesia. Semenjak pilkada langsung digulirkan pada tahun 2005 sampai dengan saat ini, aroma transaksional menjadi bagian dari proses konsolidasi politik yang melibatkan berbagai kelompok kepentingan. Berbagai tahapan formal maupun informal yang dilalui oleh seorang kontestan pada pilkada langsung, mulai dari menaikan popularitas dan elektabilitas sampai dengan mencari dukungan partai politik (political party) untuk melegitimasi proses politiknya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar bisa mendapat tiket di gelanggan kompetisi adalah fase awal dimana para penyuplai dukungan politik, dengan memberi suntikan finansial ini terlibat.
Modus operandi yang sering digunakan oleh donatur politik kepada pasangan calon yang berkompetisi ini sangat beragam. Ada yang membantu dengan cara menggelontorkan uang tunai untuk membiayai berbagai logistik konsolidasi politik, ada yang menggaransikan rekomendasi dari partai-partai tertentu yang memiliki kursi dan basis yang cukup potensial, dan tentunya, bisa memberikan efek kemenangan bagi pasangan calon, serta ada juga yang memberikan kemudahan fasilitas dan akomodasi selama proses konsolidasi politik berlangsung.
Inilah potret yang sering kita temukan dalam setiap aktifitas politik di tanah air. Politik transaksional (transactional politic) sudah menjadi wajah demokrasi yang tidak bisa dipisahkan, konsolidasi politik kita seperti telah tersandra dengan para pemilik modal yang cenderung sering menggunakan momentum politik (pilkada langsung) sebagai ajang untuk memperkuat pengaruhnya di kekuasaan. Targetnya jelas, seusai memenangkan kandidat yang mereka usung, maka ramai-ramai para pendonor politik ini akan mengeroyok sang kepala daerah terpilih untuk segera memberikan porsi proyek mereka sebagai ucapan terima kasih atas dukungannya.
Defisit Kepemimpinan Transformatif
"Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan", demikian petuah Napoleon Bonaparte. Pemimpin besar pastilah seorang yang memiliki karakter yang kuat, punya visi, inspiratif, dan tentunya mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera rakyatnya. Sosok pemimpin transformatif inilah yang dirindukan oleh masyarakat. Hadir dengan konsep membangun, berani mengambil keputusan yang berpihak kepada rakyat kecil, dan selalu memberikan terobosan-terbosan yang dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
Dalam setiap momentum politik di daerah, masyarakat berbondong-bondong menyalurkan harapannya melalui kertas suara yang mereka coblos. Mereka dengan sangat optimis dan penuh keikhlasan mendelegasikan seluruh hak mereka kepada pasangan calon kepala daerah yang mereka pilih. Pilihan ini bukan tanpa alasan, tetapi telah melalui sebuah proses kajian yang matang, meskipun ada sebagian yang harus bersikap apriori dan pesimis terhadap pasangan calon yang mereka pilih, namun pada umumnya terbesit sebuah ekspektasi yang besar terhadap perubahan. Dalam hati kecil mereka, sosok yang dipilih nanti bisa mengakomodasi kepentingan mereka.
Inilah episode transaksional yang seharusnya tercipta. Masyarakat dan pasangan calon bertransaksi untuk kepentingan daerah yang lebih baik. Pembangunan dan masa depan daerah menjadi poin penting yang mengikat sang pasangan calon terpilih selama masa periode kepemimpinannya berlangsung. Dalam konteks ini, pasangan calon yang dipilih secara langsung tidak akan mereduksi peran masyarakat yang telah melegitimasikan posisinya, dan mengutamakan para kelompok pemodal (capital groups), tapi mereka yang di berikan mandat harus benar-benar konsisten menjalankan amanah rakyat dengan baik.
Namun situasi yang di harapkan ini terkadang harus berbanding terbalik dengan realitas politik yang terjadi. Masyarakat sebagai pemberi mandat langsung sering kali diabaikan seusai penetapan dan penyesahan pasangan terpilih. Janji-janji manis yang diberikan buat rakyat selama kampanye berlangsung hanyalah hiasan jempol belaka. Para politisi (calon terpilih) cenderung memprioritaskan para kelompok kapital yang telah menyuplai dukungan finansial selama proses konsolidasi politik berlangsung, dan menegasikan keberadaan rakyat kecil.
Potret buram diatas sudah sering menjadi catatan akhir pilkada yang menyisahkan kesedihan mendalam bagi masyarakat. Masyarakat selalu menjadi pihak yang kalah, kemenangan yang diraih hanyalah bersifat semu. Seiring dengan berjalannya waktu, rakyat pun mulai ditinggalkan karena dianggap tak lagi potensial. Berbagai program pemerintahan yang dijalankan tidak secara maksimal menjawab kebutuhan masyarakat, proyek pembangunan di kerjakan secara asal-asalan, persoalan kemiskinan dan kesejahteraan tidak ditangani secara serius, malahan dikapitalisasi untuk kepentingan pencitraan pemerintah. Pemerintah lebih tertarik untuk melakukan pencitraan dan menyenangkan kolega politiknya ketimbang memikirkan persoalan rakyat. Situasi inilah yang membuat negeri ini mengalami defesit kepemimpinan yang transformatif.
Abubakar Solissa
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Paramadina
https://indonesiana.tempo.co/read/99852/2016/11/22/abusolissa.89/pilkada-dan-politik-transaksional
Posting Komentar