Legenda Joko Sungging Dan Dunia Ukir Di Kabupaten Jepara

Pada masa lalu, ada seorang raja Jepara yang memiliki isteri amat cantik. Banyak orang memuji kecantikannya, sampai-sampai ratu itu sendiri ingin dibuatkan patung dirinya.

Karena desakan sang ratu, raja lantas memerintahkan patihnya mencari rakyatnya yang memiliki keahlian mengukir. Ketika patih berkunjung ke suatu desa, bertemulah dia dengan seorang laki-laki. Sang Patih meminta petunjuk, di manakah gerangan orang yang ahli mengukir. Lelaki yang ditemuinya

Mengenai asal-usul Ki Joko Sungging, Karmadi dan Kartadarmadja (1985: 6-7) menye but kan adanya dua versi. Pertama, Patih Sungging Badan Duwung„ adalah ayah angkat Pangeran Hadiri yang berasal dari negeri Campa. Nama asli Patih Sungging ini ialah„ Chi Hui Gwan.

Setelah menemui Pangeran Hadiri di Jepara, dia dijadikan patih oleh Pangeran Hadiri lalu berganti nama menjadi Patih Sungging Badan Duwung. Di Jepara, sekitar tahun 1481, dia dibantu penduduk sekitar desa Mantingan, membuat ukir-ukiran motif hiasan Tiongkok dan Majapahit. Dari Patih Sungging inilah masyarakat Jepara pertama kali mengenal ukir-ukiran. Versi kedua, tokoh pengenal seni ukir adalah Prabangkara, seorang ahli juru gambar yang hidup masa pemerintahan Raja Brawijaya. Prabangkara mendapat tugas membuat patung permaisuri raja, sampai akhirnya dia mendapat nasib malang karena dicurigai raja, sehingga dihukum dengan dinaikkan layang-layang. itu kebetulan adalah satu-satunya orang yang sangat ahli mengukir. Laki-laki itu ialah Joko Sungging.




Sehabis minum dan mandi, dia nderok (duduk berdiam diri) lalu datang seorang petani yang lewat dan menyapanya. Joko Sungging pun mengkisahkan. Mendengar kisah yang dituturkan, petani itu menjadi iba. Petani itu lantas mengajak Joko Sung-ging ke rumahnya. Tidak berapa lama, Joko Sungging diberi pekerjaan bertani, terus berganti sebagai pedagang. Karena Joko Sungging anak yang cerdas, maka dalam waktu singkat, dia bisa mendirikan pabrik di Tokyo itu. Jadi asal-usul adanya pabrik di Jepang, yang mendirikan adalah orang Jawa.

Selama di Tokyo, dia memperoleh kabar bahwa raja (Jepara) yang menghukumnya jatuh sakit. Sakit ingatan dan panas badan. Penyakit itu dianggap karena Sang Raja telah berbuat lalim kepada Joko Sungging. Karena itu, salah seorang patihnya, yang dulu menyertai Joko Sungging, disuruh mencarinya hingga sampai bertemu. Jika sudah bertemu, supaya dia menyampaikan perminta¬an raja, agar Joko Sungging berkenan pulang ke Jawa serta akan diberi kedudukan tinggi.

Meskipun utusan (patih) itu sudah bisa bertemu dan juga sudah menyampaikan permintaan raja kepadanya, teta pi Joko Sungging menolak bahkan bersumpah bahwa anak keturunan raja bakal dibuat sakit kurang makan dan kurang pakaian. Se¬dang untuk anak keturunan patih yang diutus itu — untuk tidak kelaparan — jika sudah sampai ke Jawa lagi, supaya menanam kapas putih untuk membuat tenunan. (Maka orang-orang Sukodono, Seninan, dan Ngasem yang memproduksi kain tenun — waktu itu — hidupnya loh jinawi (makmur; sejahtera). Patih tidak berhasil membawa pulang ke Jawa, kecuali sumpah Joko Sungging yang disampaikan kepada Raja. Raja lantas khawatir kalau sumpahnya terbukti. Untuk menghalau rasa khawatir tersebut, sang permaisuri disuruh menemui Joko Sungging sendiri. Dalam pertemuan kembali antara sang permaisuri dengan Joko Sungging inilah mereka berdua “memadu rasa”. Setelah puas, Joko Sungging menarik kembali dendamnya, dan keduanya berjanji akan melakukan kerja-sama dalam perdagangan.

Pada saat permaisuri berpamitan pulang, Joko Sungging berpesan:”Sopo wae, ono ing mbesuke, gelem uri-uri ukir, bakal iso urip, cukup sandang pangane” (Siapa saja nanti, berkemauan melestarikan ukir-mengukir, akan bisa hidup, cukup sandang pangan).


1 2 3

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama