Tanggal 16 Desember 1975, Aguk selaku Danton 3 Kompi A Yonif 328 melakukan persiapan serangan ke Vamasse, saat melakukan patroli pengintaian dengan sasaran jembatan Maoleden. Esok harinya, pada jam 04.00 WIT patroli tersebut berhasil menyergap pos musuh yang berkekuatan 15 orang dan menewaskan mereka.
Selanjutnya, 22 Desember 1975, gerakan Kompi dilanjutkan ke arah barat untuk merebut, menduduki dan mempertahankan kota Manatuto dengan menyusun pemerintahan sementara di kota tersebut. Rencana gerakan berikutnya adalah merebut dan membersihkan kota Lalea yang diduduki musuh dengan kekuatan 1 Peleton.
Setelah melakukan proses perkiraan yang cepat, lalu diputuskan untuk melakukan serangan Batalyon dengan serangan pokok di sebelah kiri oleh Kompi C, dan di sebelah kanan oleh Kompi B, dengan waktu jam “J” pukul 1100.
Pada saat melintasi sungai Lalea (lebar 500 meter), Kipan C terhambat, Danton nya gugur tertembak musuh. Kipan B berhasil menembus dari sayap kanan sampai masuk kota, puluhan mayat musuh bergelimpangan tertembak atau terkena mortir. Dalam perebutan kota Manatuto tidak ada pertempuran dalam kota, karena sisa-sisa musuh sudah kabur meninggalkan kota. Kota Manatuto dikuasai TNI.
Satu tahun bertugas di Timor Timur kemudian Aguk kembali ke kesatuan di Cilodong- Jawa Barat, Batalyon Infanteri Lintas Udara 328/Dirgahayu dengan jabatan Komandan Peleton 3 Kompi A terhitung mulai 1 Oktober 1976.
Dari hasil pengamatannya tentang serbuan Linud ke Timor Timur tanggal 3 Desember 1975, ada hal-hal yang perlu menjadi catatan bagi satuan Linud.
Pertama, persiapan satuan operasi terkesan terburu-buru sehingga tidak sempurna, indikasinya :
a. Personil satuan operasi (Yonif 328) tidak lengkap, kebutuhan terpaksa dipenuhi dari satuan Linud lainnya (dari Yonif 305,330, dan Mabrigif 17 sendiri).
b. Senjata yang digunakan masih baru (M16A1). Masih dalam kotak tersegel, sehingga prajurit tidak sempat “dasar senapan”. Bahkan sebagian besar prajurit banyak yang tidak paham seluk beluk senapan M16A1.
c. Sarana angkutan udara terbatas, sehingga ada penggunaan pesawat komersial Fokker-28.
d. Marshalling Area di Madiun dan Kupang tidak siap betul (seadanya).
e. Data intelijen pendukung operasi serbuan linud ke Dilli dan Baucau tidak akurat, sehingga banyak jatuh korban.
f. Prajurit Linud yang diterjunkan di Dilli terkesan tidak profesional, banyak terjadi “salah lirik” dan baku tembak anta kawan, mungkin karena cuaca gelap saat itu, akibatnya banyak jatuh korban sia-sia.
g. 1 Kompi Kopasandha yang tidak di drop di Dilli, karena alasan 2 Jump Masternya tertembak (gugur) dari bawah, sementara pesawat Hercules banyak lubang tertembus peluru. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap dinamika operasi dan moril prajurit lainnya.
h. Operasi Serbuan Linud di Lapangan Terbang Villa Salazar Baucau dilaksanakan pada tanggal 9 Desemeber 1975, pukul 0900, sementara operasi Amfibi Marinir TNI-AL di Laga dan Pantai Baucau tanggal 8 Desember 1975, pukul 1800. Dari segi taktik maka hal ini dinilai kurang tepat, karena musuh yang dipukul oleh Marinir dalam operasi Amfibi mundur kearah selatan (Venilale) melalui Lapangan Terbang dan bertahan secara kuat di ketinggian selatan Lapangan Terbang (di Letter S). Akibatnya, Yonif Linud 328 mendapatkan perlawanan yang ringan dalam perebutan Lapter Villa Salazar, sementara Yonif Linud 330 yang melalui Air Landed melalui pertempuran berdarah-darah yang sengit. Banyak personilnya yang gugur disini.
Operasi Serbuan Linud yang dilakukan TNI saat itu, merupakan operasi linud terbesar (dengan jumlah yang terjun lebih kurang 4000 personil) setelah Operasi Merdeka di Padang dan Operasi Mandala di Irian Barat
(bersambung)
Sumber : JKGR
Posting Komentar